“Jika sudah miskin, janganlah engkau sakit.” Ketika membaca tulisan tersebut maka pikiran dan hati kita akan terketuk dan merasa miris. Bagaimana tidak? Kemiskinan adalah sebuah momok nyata yang sekarang sedang menggerogoti dunia, ia ada di segala penjuru, ia tidak membedakan suku maupun agama, ia ada karena setiap usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup mengalami kebuntuan . Setiap upaya dan segenap usaha yang pada akhirnya tidak menemukan adanya titik terang, koruptor yang merajarela, ketidakpastian hukum, ketidakpedulian negara, keegoisan ego personal maupun individu yang semakin mengobarkan kemiskinan.
Saat mata terbuka lebar dan memandang di sekeliling kita, maka yang tercipta hanyalah pandangan mengerikan akan masa depan. Sebuah tragedi kehidupan manusia yang lambat laun menjadi besar dan besar, sehingga ketika segelintir uluran tangan yang lemah dan tak berdaya tidak mampu untuk menggapai sebuah kehidupan maka kematian adalah jalan satu-satunya, sebuah kesimpulan, mereka adalah korban dari “Kemiskinan”.
Seorang pemuka agama bertanya kepada seseorang yang didera penderitaan akan “Kemiskinan”.
“Apakah arti Tuhan itu untukmu?” lalu ia menjawab dengan nada tak berdaya dan mata berkaca-kaca, “Ketika engkau memohon dan meminta dengan keikhlasan maka ia adalah orang pertama yang mengabaikan engkau.”
Kemudian pemuka agama itu bertanya kepada seorang saudagar kaya yang sama sekali belum merasakan amukan “Kemiskinan”.
“Dan apakah arti Tuhan untukmu?” lalu ia menjawab dengan tegas, “Saya belum pernah melihat-Nya, dan jika karena Beliau saya menjadi sekaya ini, maka saya akan terus memohon dan meminta agar kekayaan saya tidak akan pernah sirna.”
Pemuka agama itu kebingungan dan berusaha mencari sebuah jawaban yang dapat memuaskan batinnya.
Lalu ia bertemu seorang yang bercerita kepadanya bahwa ia pernah merasakan “Kemiskinan” dan setelah itu ia terlepas dan dapat mencicipi kekayaan yang ia dapat dengan usaha keras yang tiada henti. Ketika pemuka agama itu bertanya apa arti Tuhan baginya lalu ia menjawab dengan lembut, “Ia pemberi ladang pada petani buta.”
Lalu ia bertemu seorang yang bercerita kepadanya bahwa ia pernah merasakan “Kemiskinan” dan setelah itu ia terlepas dan dapat mencicipi kekayaan yang ia dapat dengan usaha keras yang tiada henti. Ketika pemuka agama itu bertanya apa arti Tuhan baginya lalu ia menjawab dengan lembut, “Ia pemberi ladang pada petani buta.”
Usaha untuk memberantas “Kemiskinan” tidak bisa dilakukan hanya oleh Sang Pencipta, namun upaya ini harus dikerjakan oleh semua lapisan masyarakat, baik si kaya ataupun si miskin. Sekarang hilangkan takhayul yang mengatakan semua adalah kehendak-Nya. Cobalah semampu mungkin untuk menyelamatkan satu jiwa dari “Kemiskinan”, maka anda telah berjasa besar untuk menciptakan sebuah dunia baru yang lebih indah.